Sabtu, 07 Januari 2012

Bahasa yang tak sengaja jadi kebiasaan

0 komentar
Mengamati mahasiswa dan anak muda zaman sekarang berkomunikasi membuat kita senyum-senyum sekaligus miris. Saat ini hampir jarang kita mendengar mahasiswa berbicara dengan kata “saya” dan “kamu”, mereka lebih sering menggunakan “lu” dan “gue”, atau dalam beberapa variasi seperti “elo”, “lo”, “gua”, atau “gw”. Mungkin penggunaan kata “saya” dan “kamu” dirasakan mereka terlalu formal ‘kali ya atau terlalu kaku. Oh iya, penggunaan kata “lo” dan “gua” bercampur baur dengan dialek betawi. Misalnya seperti di bawah ini:
Eh, gue mau pinjem catetan kuliah probstat lo dong?”
“Boleh, nih, entar lo balikin nanti malem ya, gua belon bikin tugasnya nih?”
“Tugas apaan? Kok gue enggak tahu?”
Makenye lo jangan sering bolos dong
He..he..he, itulah bahasa gaul anak muda di Bandung masa kini, khususnya di kalangan mahasiswa (utamanya lagi di ITB). Yang mengucapkannya bukan hanya mahasiswa dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah bukan Jakarta juga enjoy saja berbicara dengan teman-temannya menggunakan bahasa gaul ini. Jakarta minded. Jadi jangan heran kalau kita mendengar logat medok Jawa dalam ucapan seperti di atas, atau dialek Sunda yang khas, atau logat Minang/Melayu yang kental dalam mengucapkannya. Kadang-kadang salah lagi dalam pengucapannya. Itulah yang membuat saya tersenyum geli mendengarnya. Misalnya begini:
Gua nggak bisaan euy ujiannya” (Sunda banget ya)
Di Bandung yang pengaruh Jakarta begitu kental karena dekatnya jarak kedua kota ini, penggunaan bahasa gaul sudah menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kalangan mahasiswa tetapi juga siswa-siswi SMA/SMP. Coba sekali jalan-jalan ke Jl. Belitung dekat SMA 3 dan 5, dengarkan bagaimana siswa-siswa SMA itu bercanda dan bercakap-cakap. Anda akan menemukan fenomena yang sama seperti di kampus-kampus lain di Bandung.
Sepanjang bahasa gaul itu untuk memperlancar komunikasi dan membuat lebih akrab tentu sah-sah saja digunakan. Bahasa memang bertujuan untuk berkomunikasi, bukan?
Namun yang membuat miris adalah ketika bahasa gaul itu masuk ke area formal seperti kelas kuliah, seminar, diskusi, dan bahasa tulis. Ketika saya memimpin sebuah diskusi di dalam kelas, seorang mahasiswi tidak sadar menggunakan kata seperti: “Kalau kata gue sih … “, atau ucapan seperti: “pendapat lo gak salah..”. Nah, bingung ‘kan kita kenapa bahasa mahasiswa kita jadi kacau begini ya?
Dalam seminar Tugas Akhir yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa, si mahasiswa TA tanpa sadar menanggapi pertanyaan dari temannya dengan bahasa gaul seperti “menurut gua…dst”. Seisi kelas tersenyum geli mendengarnya. Lupa ya mas ini di dalam kelas seminar? Yang paling sering adalah pengucapan kata-kata informal seperti “ukuran datanya lumayan gede“, atau “waktu eksekusinya lama banget“. Kata-kata slank yang mengandung akhiran “in” tidak terhitung terlontar dari mulut si mahasiswa TA, seperti “dimasukin”, “ditambahin”, “digabungin”, “dihilangin”, dan sebagainya. Tambah parah saja, bukan?
Itulah pentingnya belajar berbahasa yang benar, bukan sekadar belajar Bahasa Indonesia, tetapi belajar menggunakannya secara baik dan benar serta tahu tempat dan situasinya.

Leave a Reply