Vina meneleponku hari Sabtu pagi, saat aku membersihkan kamar mandi.
“Kau mau main ke rumahku, tidak?” tanyanya.
“Mama kedatangan beberapa temannya, dan sekarang mereka pergi berkuda. Aku bosan sendirian di rumah.”
“Wah, tidak bisa,” desahku. “Hari Sabtu waktunya mengerjakan tugas-tugas rumahtangga.”
Vina terdengar kecewa. “Tapi Riri akan datang. Begini saja, datanglah agak siang, kalau tugas-tugasmu sudah selesai.”
Aku menutup telepon dan melihat Lita berdiri di belakangku. “Telepon dari siapa?” tanyanya.
“Vina Angelica,” jawabku. “Dia mengundangku ke rumahnya. Tapi aku belum selesai membersihkan kamar mandi, dan sesudah itu aku harus…”
Lita meletakkan tangan di bahuku dan meremasnya. “Biar aku saja yang mengerjakannya, Upik Abu. Pergilah ke pesta dansa.”
Setengah jam kemudian, aku sudah dalam perjalanan ke rumah Vina. Lita baik sekali. Dia berhasil membujuk ayah dan ajaibnya ayah memperbolehkan aku pergi. Aku bisa bebas sehari ini tanpa dibebani tugas-tugas rumahtangga. Horeee! Seandainya saja Lita mau tinggal bersama kami selamanya, pikirku pasti hidup ini akan terasa menyenangkan. Aku tahu Ayah mengkhawatirkan tanggapanku dan adik-adikku tentang hal itu, tapi sebenarnya kami tidak keberatan. Aku pernah berusaha mengajaknya bicara mengenai hal itu beberapa minggu lalu, tetapi Ayah cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan. Sayang sekali, karena kami semua menyukai Lita dan ingin Ayah bahagia, tapi waktu aku berusaha mengutarakan hal itu padanya, Ayah malah bergumam tidak jelas, mengatakan kami adalah tanggungjawabnya, lalu bergegas pergi ke toko.
Segala perenunganku akhir-akhir ini akan kebenaran dan bersikap jujur, juga ada kaitannya denganku dan Ayah. Bukannya kami tidak jujur satu sama lain, tapi kami lebih sering tidak mengungkapkan seluruh kebenaran. Suatu hari nanti, kami harus duduk dan berbicara empat mata tentang banyak hal, aku memutuskan dalam hati.
Pagi itu, langit biru tak berawan saat aku mengayuh sepeda menuju rumah bibi. Rasanya udara cerah berhasil menghalau semua kekusutan dalam otakku. Ada yang namanya kebenaran, pikirku, berikutnya bohong putih, lalu setengah kebenaran, kemudian kebohongan. Lalu ada kebohongan baik dan buruk, sebagian untuk melindungi, sebagian untuk menghindari keributan, tapi kurasa ada juga yang benar-benar tindakan pengecut.
Aku memutuskan akan mencatat semua kebohongan atau bohong putih yang kulakukan mulai besok.
Sepuluh menit kemudian, aku meninggalkan rumah bibi dan sampai di rumah Vina. Tapi bagaimana caranya aku masuk ke sana? Pagar besi tinggi yang megah itu tertutup rapat di depanku. Kulihat kotak interkom kecil terpasang di salah satu pilar yang ada di sana. Kutekan tombolnya.
Kamera langsung bergerak dan menyorot wajahku. Aku memasang wajah tersenyum penuh harap.
“Hai, Cha, masuklah,” kata Vin melalui interkom. Detik berikutnya aku mendengar suara mendengung dan seperti disulap, gerbang besar itu mulai terbuka.
Sambil mengayuh sepedaku masuk, naik turun menyusuri jalan masuk yang berkelok-kelok, aku mulai merasa minder. Walaupun sudah pernah datang ke sini sebelumnya bersama Ayah. Kali ini, aku masuk ke sana sebagai tamu. Setidaknya James tidak ada di sini. Seandainya dia ada, tidak sanggup aku ke sini.
Rasanya lama sekali bersepeda menuju rumah Vina, melewati kandang-kandang kuda, lumbung-lumbung, dan hutan kecil yang seolah tidak berujung. Aku mulai berpikir aku tersesat ketika mendadak pepohonan seolah terbuka. Lalu, aku melihat Vina dan Riri berdiri menungguku di ujung jalan bersama dua anjing berbulu cokelat kemerahan.
Rumahnya megah sekali, seperti hotel kuno, berdiri dengan hutan mengelilingi di bagian belakang dan kedua sisi. Di depannya, tampak teras panjang yang dipenuhi pohon-pohon palem besar dalam pot-pot raksasa.
“Wow, Cha, kau harus melihat-lihat tempat ini,” seru Riri dengan wajah berseri-seri begitu aku turun dari sepeda dan langsung disambut dua anjing itu, seolah-olah aku sahabat lama. “Benar-benar menakjubkan. Mereka punya lapangan tenis sendiri, juga kolam renang, dan ruang bilyar.”
“Kenalkan, ini Max dan Molly,” kata Vina.
“Duduk, anjing pintar, duduk.” Max menurut, tapi Molly sepertinya suka padaku dan menggigit lengan bajuku kuat-kuat.
“Duduk, Molly, duduk. Maaf, Cha, dia masih muda dan terlalu girang bila ada orang datang.”
“Tidak apa-apa,” kataku sementara Vina melepaskan Molly dariku. Aku menyandarkan sepeda di teras dan memandangi mobil-mobil yang diparkir di sebelah rumah. Mercedes perak mengkilap, BMW hitam, dan Range Rover. “Supirku sibuk, jadi aku datang naik sepeda,” candaku sambil tertawa.
Vina tersenyum malu. “Kau mau masuk? Aku akan mengajakmu berkeliling melihat-lihat. Itu kalau Riri tidak keberatan melihatnya lagi.”
“Tidak, tentu saja tidak,” jawab Riri.
Kami mengikutinya melewati teras dan berjalan memasuki pintu yang mengarah ke ruang depan dengan langit-langit tinggi menjulang, kaca-kaca besar, serta tangga lebar.
“Ini ruang duduk,” kata Vina sambil berjalan mendahuluiku memasuki ruangan elegan dengan jendela kaca yang besar sekali dan tirai-tirai tebal yang menjulur menyapu lantai. Melalui jendela itu terlihat pemandangan menakjubkan: halaman depan yang melandai ke arah laut.
“Di sana mereka punya pantai pribadi,” cerita Riri, yang tampak senang berada di sini. “Juga kapal-kapal pribadi.”
Sambil berjalan mengikuti mereka dari kamar ke kamar, aku juga mulai merasa senang. Rasanya seperti turis yang melihat-lihat rumah bersejarah para bangsawan. Belum pernah aku melihat tempat semewah ini, kecuali hotel tempat Nenek Brenda yang menikah tahun lalu.
Setiap ruangan yang ada di lantai bawah memiliki perabotan yang indah sekaligus nyaman, perapian terbuka dengan keranjang-keranjang berisi kayu bakar di sebelahnya, dan dimana-mana bertebaran barang yang tampak antik dan berharga. Tapi yang paling asyik, di setiap ruangan ada televisinya. Di lantai atas, semua kamar tidurnya memiliki kamar mandi bahkan sebagian kamar mandi itu juga dilengkapi televisi.
“Pasti oke banget tinggal di sini,” kataku.
“Tidak harus berbagi kamar tidur atau kamar mandi. Pasti enak rasanya punya televisi sendiri.”
“Kalau begitu, mudah-mudahan suatu hari nanti kau mau kuajak menginap di sini,” kata Vina. “Mama paling senang menerima tamu.”
“Wah, kami berminat sekali,” jawabku sementara Vina mengajak kami berjalan menyusuri koridor dan memasuki kamar tidur lain.
“Ini kamar tidur si Tuan Muda Pangeran,” kata Vina.
“Kamar James,” timpal Riri sambil nyengir di belakang punggung Vina.
Aneh rasanya melihat-lihat barang pribadi cowok itu. Di sana banyak terpajang foto James bersama teman-teman dan keluarganya, dan melihat foto-foto itu membuat perutku terasa aneh. Kembali ke otakmu, perintahku pada pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala. Sebenarnya aku tidak ingin berlama-lama di sana, tapi Riri sibuk meneliti isi rak James, melihat-lihat koleksi buku dan kaset CD-nya.
Sepanjang sisa siang itu kami habiskan untuk “tur” keliling rumah, tapi bahkan setelah dua jam berlalu, kami masih belum melihat semuanya.
“Sekali-kali, kau harus datang ke rumahku dan melakukan “tur” juga di rumah kami,” kataku sambil tertawa. “Tidak sampai lima menit sudah selesai. Tiga kamar di atas, dua di bawah, dan sebuah kamar mandi kecil.”
“Kalian tidak keberatan, kan?” tanya Vina saat kami berhenti di puncak halaman.
“Keberatan pada apa?” Tanya Riri, kebingungan.
Vina melambaikan kedua ke sekelilingnya. “Semua ini.”
“Keberatan? Aku suka sekali,” kataku.
“Masalahnya, terkadang ada orang yang bersikap agak aneh karena keluarga kami punya begitu banyak, kalian tahu lah…”
“Maksudmu iri?” tanyaku.
Vina mengangguk. Mudah-mudahan saja hal ini tidak membuat kalian enggan berteman denganku.”
“Tentu saja tidak,” sahutku. “Maksudku, tentu saja aku agak iri, siapa yang tidak sih? Tapi sebenarnya aku berharap kau akan mengajakku dan Rini pindah ke sini. Tidak akan ada yang sadar kalau kami ada di sini. Kami bisa tinggal di salah satu kandang kuda itu bersama kuda-kuda peliharaanmu.”
Vina tertawa dan terlihat lega. “Bagus, kalau begitu ayo kita cari Minah dan minta dibuatkan minum.”
“Siapa Minah?” tanya Riri.
Vina tampak malu. “Pengurus rumahtangga kami. Maaf.”
Sambil berjalan mengikuti Vina kembali ke rumah dan masuk ke dapur yang bahkan lebih besar daripada seluruh ruangan di dalam rumah kami bila dijadikan satu, terpikir olehku betapa anehnya manusia itu. Lihat saja Vina, yang memiliki segalanya: kecantikan, orangtua glamor, rumah mewah nan megah, pengurus rumahtangga, kamar tidur dan kamar mandi pribadi, televisi, dan entah apalagi, tapi dia malah khawatir kami tidak mau berteman dengannya. Tapi kemudian aku sadar bahwa satu-satunya yang tidak dia miliki di sini adalah teman.
Padahal justru temanlah yang membuat kita merasa betah tinggal di mana saja, baik itu di rumah megah seperti ini, maupun di rumah mungil seperti rumahku. Setelah kehilangan orang terdekat seperti ibumu, kau dengan cepat belajar bahwa orang-oranglah yang terpenting dalam hidup ini. Kupandangi Vina dengan kekaguman yang semakin bertambah. Dia memiliki segalanya tapi sama sekali tidak sombong. Tidak seperti orang kaya yang pada umumnya angkuh. Itulah yang terpenting, pikirku, dan jelas Vina menyadari hal itu. Mudah-mudahan kami bisa berteman baik.
“Kau mau main ke rumahku, tidak?” tanyanya.
“Mama kedatangan beberapa temannya, dan sekarang mereka pergi berkuda. Aku bosan sendirian di rumah.”
“Wah, tidak bisa,” desahku. “Hari Sabtu waktunya mengerjakan tugas-tugas rumahtangga.”
Vina terdengar kecewa. “Tapi Riri akan datang. Begini saja, datanglah agak siang, kalau tugas-tugasmu sudah selesai.”
Aku menutup telepon dan melihat Lita berdiri di belakangku. “Telepon dari siapa?” tanyanya.
“Vina Angelica,” jawabku. “Dia mengundangku ke rumahnya. Tapi aku belum selesai membersihkan kamar mandi, dan sesudah itu aku harus…”
Lita meletakkan tangan di bahuku dan meremasnya. “Biar aku saja yang mengerjakannya, Upik Abu. Pergilah ke pesta dansa.”
Setengah jam kemudian, aku sudah dalam perjalanan ke rumah Vina. Lita baik sekali. Dia berhasil membujuk ayah dan ajaibnya ayah memperbolehkan aku pergi. Aku bisa bebas sehari ini tanpa dibebani tugas-tugas rumahtangga. Horeee! Seandainya saja Lita mau tinggal bersama kami selamanya, pikirku pasti hidup ini akan terasa menyenangkan. Aku tahu Ayah mengkhawatirkan tanggapanku dan adik-adikku tentang hal itu, tapi sebenarnya kami tidak keberatan. Aku pernah berusaha mengajaknya bicara mengenai hal itu beberapa minggu lalu, tetapi Ayah cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan. Sayang sekali, karena kami semua menyukai Lita dan ingin Ayah bahagia, tapi waktu aku berusaha mengutarakan hal itu padanya, Ayah malah bergumam tidak jelas, mengatakan kami adalah tanggungjawabnya, lalu bergegas pergi ke toko.
Segala perenunganku akhir-akhir ini akan kebenaran dan bersikap jujur, juga ada kaitannya denganku dan Ayah. Bukannya kami tidak jujur satu sama lain, tapi kami lebih sering tidak mengungkapkan seluruh kebenaran. Suatu hari nanti, kami harus duduk dan berbicara empat mata tentang banyak hal, aku memutuskan dalam hati.
Pagi itu, langit biru tak berawan saat aku mengayuh sepeda menuju rumah bibi. Rasanya udara cerah berhasil menghalau semua kekusutan dalam otakku. Ada yang namanya kebenaran, pikirku, berikutnya bohong putih, lalu setengah kebenaran, kemudian kebohongan. Lalu ada kebohongan baik dan buruk, sebagian untuk melindungi, sebagian untuk menghindari keributan, tapi kurasa ada juga yang benar-benar tindakan pengecut.
Aku memutuskan akan mencatat semua kebohongan atau bohong putih yang kulakukan mulai besok.
Sepuluh menit kemudian, aku meninggalkan rumah bibi dan sampai di rumah Vina. Tapi bagaimana caranya aku masuk ke sana? Pagar besi tinggi yang megah itu tertutup rapat di depanku. Kulihat kotak interkom kecil terpasang di salah satu pilar yang ada di sana. Kutekan tombolnya.
Kamera langsung bergerak dan menyorot wajahku. Aku memasang wajah tersenyum penuh harap.
“Hai, Cha, masuklah,” kata Vin melalui interkom. Detik berikutnya aku mendengar suara mendengung dan seperti disulap, gerbang besar itu mulai terbuka.
Sambil mengayuh sepedaku masuk, naik turun menyusuri jalan masuk yang berkelok-kelok, aku mulai merasa minder. Walaupun sudah pernah datang ke sini sebelumnya bersama Ayah. Kali ini, aku masuk ke sana sebagai tamu. Setidaknya James tidak ada di sini. Seandainya dia ada, tidak sanggup aku ke sini.
Rasanya lama sekali bersepeda menuju rumah Vina, melewati kandang-kandang kuda, lumbung-lumbung, dan hutan kecil yang seolah tidak berujung. Aku mulai berpikir aku tersesat ketika mendadak pepohonan seolah terbuka. Lalu, aku melihat Vina dan Riri berdiri menungguku di ujung jalan bersama dua anjing berbulu cokelat kemerahan.
Rumahnya megah sekali, seperti hotel kuno, berdiri dengan hutan mengelilingi di bagian belakang dan kedua sisi. Di depannya, tampak teras panjang yang dipenuhi pohon-pohon palem besar dalam pot-pot raksasa.
“Wow, Cha, kau harus melihat-lihat tempat ini,” seru Riri dengan wajah berseri-seri begitu aku turun dari sepeda dan langsung disambut dua anjing itu, seolah-olah aku sahabat lama. “Benar-benar menakjubkan. Mereka punya lapangan tenis sendiri, juga kolam renang, dan ruang bilyar.”
“Kenalkan, ini Max dan Molly,” kata Vina.
“Duduk, anjing pintar, duduk.” Max menurut, tapi Molly sepertinya suka padaku dan menggigit lengan bajuku kuat-kuat.
“Duduk, Molly, duduk. Maaf, Cha, dia masih muda dan terlalu girang bila ada orang datang.”
“Tidak apa-apa,” kataku sementara Vina melepaskan Molly dariku. Aku menyandarkan sepeda di teras dan memandangi mobil-mobil yang diparkir di sebelah rumah. Mercedes perak mengkilap, BMW hitam, dan Range Rover. “Supirku sibuk, jadi aku datang naik sepeda,” candaku sambil tertawa.
Vina tersenyum malu. “Kau mau masuk? Aku akan mengajakmu berkeliling melihat-lihat. Itu kalau Riri tidak keberatan melihatnya lagi.”
“Tidak, tentu saja tidak,” jawab Riri.
Kami mengikutinya melewati teras dan berjalan memasuki pintu yang mengarah ke ruang depan dengan langit-langit tinggi menjulang, kaca-kaca besar, serta tangga lebar.
“Ini ruang duduk,” kata Vina sambil berjalan mendahuluiku memasuki ruangan elegan dengan jendela kaca yang besar sekali dan tirai-tirai tebal yang menjulur menyapu lantai. Melalui jendela itu terlihat pemandangan menakjubkan: halaman depan yang melandai ke arah laut.
“Di sana mereka punya pantai pribadi,” cerita Riri, yang tampak senang berada di sini. “Juga kapal-kapal pribadi.”
Sambil berjalan mengikuti mereka dari kamar ke kamar, aku juga mulai merasa senang. Rasanya seperti turis yang melihat-lihat rumah bersejarah para bangsawan. Belum pernah aku melihat tempat semewah ini, kecuali hotel tempat Nenek Brenda yang menikah tahun lalu.
Setiap ruangan yang ada di lantai bawah memiliki perabotan yang indah sekaligus nyaman, perapian terbuka dengan keranjang-keranjang berisi kayu bakar di sebelahnya, dan dimana-mana bertebaran barang yang tampak antik dan berharga. Tapi yang paling asyik, di setiap ruangan ada televisinya. Di lantai atas, semua kamar tidurnya memiliki kamar mandi bahkan sebagian kamar mandi itu juga dilengkapi televisi.
“Pasti oke banget tinggal di sini,” kataku.
“Tidak harus berbagi kamar tidur atau kamar mandi. Pasti enak rasanya punya televisi sendiri.”
“Kalau begitu, mudah-mudahan suatu hari nanti kau mau kuajak menginap di sini,” kata Vina. “Mama paling senang menerima tamu.”
“Wah, kami berminat sekali,” jawabku sementara Vina mengajak kami berjalan menyusuri koridor dan memasuki kamar tidur lain.
“Ini kamar tidur si Tuan Muda Pangeran,” kata Vina.
“Kamar James,” timpal Riri sambil nyengir di belakang punggung Vina.
Aneh rasanya melihat-lihat barang pribadi cowok itu. Di sana banyak terpajang foto James bersama teman-teman dan keluarganya, dan melihat foto-foto itu membuat perutku terasa aneh. Kembali ke otakmu, perintahku pada pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala. Sebenarnya aku tidak ingin berlama-lama di sana, tapi Riri sibuk meneliti isi rak James, melihat-lihat koleksi buku dan kaset CD-nya.
Sepanjang sisa siang itu kami habiskan untuk “tur” keliling rumah, tapi bahkan setelah dua jam berlalu, kami masih belum melihat semuanya.
“Sekali-kali, kau harus datang ke rumahku dan melakukan “tur” juga di rumah kami,” kataku sambil tertawa. “Tidak sampai lima menit sudah selesai. Tiga kamar di atas, dua di bawah, dan sebuah kamar mandi kecil.”
“Kalian tidak keberatan, kan?” tanya Vina saat kami berhenti di puncak halaman.
“Keberatan pada apa?” Tanya Riri, kebingungan.
Vina melambaikan kedua ke sekelilingnya. “Semua ini.”
“Keberatan? Aku suka sekali,” kataku.
“Masalahnya, terkadang ada orang yang bersikap agak aneh karena keluarga kami punya begitu banyak, kalian tahu lah…”
“Maksudmu iri?” tanyaku.
Vina mengangguk. Mudah-mudahan saja hal ini tidak membuat kalian enggan berteman denganku.”
“Tentu saja tidak,” sahutku. “Maksudku, tentu saja aku agak iri, siapa yang tidak sih? Tapi sebenarnya aku berharap kau akan mengajakku dan Rini pindah ke sini. Tidak akan ada yang sadar kalau kami ada di sini. Kami bisa tinggal di salah satu kandang kuda itu bersama kuda-kuda peliharaanmu.”
Vina tertawa dan terlihat lega. “Bagus, kalau begitu ayo kita cari Minah dan minta dibuatkan minum.”
“Siapa Minah?” tanya Riri.
Vina tampak malu. “Pengurus rumahtangga kami. Maaf.”
Sambil berjalan mengikuti Vina kembali ke rumah dan masuk ke dapur yang bahkan lebih besar daripada seluruh ruangan di dalam rumah kami bila dijadikan satu, terpikir olehku betapa anehnya manusia itu. Lihat saja Vina, yang memiliki segalanya: kecantikan, orangtua glamor, rumah mewah nan megah, pengurus rumahtangga, kamar tidur dan kamar mandi pribadi, televisi, dan entah apalagi, tapi dia malah khawatir kami tidak mau berteman dengannya. Tapi kemudian aku sadar bahwa satu-satunya yang tidak dia miliki di sini adalah teman.
Padahal justru temanlah yang membuat kita merasa betah tinggal di mana saja, baik itu di rumah megah seperti ini, maupun di rumah mungil seperti rumahku. Setelah kehilangan orang terdekat seperti ibumu, kau dengan cepat belajar bahwa orang-oranglah yang terpenting dalam hidup ini. Kupandangi Vina dengan kekaguman yang semakin bertambah. Dia memiliki segalanya tapi sama sekali tidak sombong. Tidak seperti orang kaya yang pada umumnya angkuh. Itulah yang terpenting, pikirku, dan jelas Vina menyadari hal itu. Mudah-mudahan kami bisa berteman baik.