Seorang dermawan memulai pidatonya dalam ruangan yang dipenuhi sekitar 100 orang pendengar. Di tangannya tergenggam selembar uang kertas 100 ribuan.
Ia bertanya, “Saudara-saudara, siapa yang menginginkan uang ini?”
Tangan pendengar satu per satu diangkat ke atas.
Si dermawan lalu berkata, “Akan kuberikan uang ini, tapi izinkan saya membaginya dengan adil.” Ia tampak merobek-robek uang itu, hingga membuat uang itu terbagi menjadi 100 potong. Ia lalu kembali bertanya pada hadirin, “Siapa yang masih menginginkan benda ini?”
Tak seorang pun mengangkat tangannya ke atas.
“Baiklah,” katanya, “bagaimana kalau yang ini?” dermawan itu menunjukkan sekeping uang emas. Ia kembali bertanya, “Saudara-saudara siapa yang menginginkan sekeping uang emas ini?”
Tangan pendengar satu per satu diangkat ke atas.
Si dermawan lalu berkata, “Akan kuberikan keping emas ni, tapi izinkan saya melakukan hal ini.” Ia tampak memelintir keping emas itu, seperti seseorang yang menyobek-nyobek kertas, hingga membuat keping emas itu penyok di sana-sini. Ia lalu kembali bertanya pada hadirin. “Siapa yang masih menginginkan benda ini?”
Tangan para pendengar kembali diangkat ke atas.
“Baiklah,” katanya, “bagaimana kalau aku lakukan ini?”
Si dermawan itu lalu membanting keping emas yang tak lagi bulat rata itu ke lantai, lalu menginjak-injaknya dengan sepatu. Ia lantas mengambil benda yang telah tak berwujud lagi itu, kecuali seperti gumapalan sisa permen karet, dan dekil.
“Hayo sekarang, siapa yang masih menginginkannya?”
Semua tangan masih terangkat ke atas.
Meski tak lagi berwujud dan dekil, keping emas itu tak kehilangan nilainya. Seringkali, kita terjerembab, tercabik-cabik, bahkan hancur oleh keputusan atau keadaan kita sendiri. Kita merasa tak lagi berharga. Tapi sesungguhnya, apa pun yang terjadi, kita takkan kehilangan nilai. Seperti itulah seharusnya kita. Sebuah keeping emas, bukan selembar uang kertas. Dengan begitu kita akan lebih menghargai hidup ini. Karena kita adalah spesial – jangan lupa itu. Jangan biarkan masa lalu merusak masa depan kita.
Ia bertanya, “Saudara-saudara, siapa yang menginginkan uang ini?”
Tangan pendengar satu per satu diangkat ke atas.
Si dermawan lalu berkata, “Akan kuberikan uang ini, tapi izinkan saya membaginya dengan adil.” Ia tampak merobek-robek uang itu, hingga membuat uang itu terbagi menjadi 100 potong. Ia lalu kembali bertanya pada hadirin, “Siapa yang masih menginginkan benda ini?”
Tak seorang pun mengangkat tangannya ke atas.
“Baiklah,” katanya, “bagaimana kalau yang ini?” dermawan itu menunjukkan sekeping uang emas. Ia kembali bertanya, “Saudara-saudara siapa yang menginginkan sekeping uang emas ini?”
Tangan pendengar satu per satu diangkat ke atas.
Si dermawan lalu berkata, “Akan kuberikan keping emas ni, tapi izinkan saya melakukan hal ini.” Ia tampak memelintir keping emas itu, seperti seseorang yang menyobek-nyobek kertas, hingga membuat keping emas itu penyok di sana-sini. Ia lalu kembali bertanya pada hadirin. “Siapa yang masih menginginkan benda ini?”
Tangan para pendengar kembali diangkat ke atas.
“Baiklah,” katanya, “bagaimana kalau aku lakukan ini?”
Si dermawan itu lalu membanting keping emas yang tak lagi bulat rata itu ke lantai, lalu menginjak-injaknya dengan sepatu. Ia lantas mengambil benda yang telah tak berwujud lagi itu, kecuali seperti gumapalan sisa permen karet, dan dekil.
“Hayo sekarang, siapa yang masih menginginkannya?”
Semua tangan masih terangkat ke atas.
Meski tak lagi berwujud dan dekil, keping emas itu tak kehilangan nilainya. Seringkali, kita terjerembab, tercabik-cabik, bahkan hancur oleh keputusan atau keadaan kita sendiri. Kita merasa tak lagi berharga. Tapi sesungguhnya, apa pun yang terjadi, kita takkan kehilangan nilai. Seperti itulah seharusnya kita. Sebuah keeping emas, bukan selembar uang kertas. Dengan begitu kita akan lebih menghargai hidup ini. Karena kita adalah spesial – jangan lupa itu. Jangan biarkan masa lalu merusak masa depan kita.